Rabu, 15 September 2010

Saya merasa harus menulis ini..

Saya memang suka menulis. Sehingga kadang-kadang, semua hal kecil yang menurut sebagian orang tidak penting untuk ditulis, tetap saja saya tulis. Terkait dunia tulis menulis, saya sangat terinspirasi dengan (Alm) Pamanda saya tercinta, CH Rhofiq, yang menjadi sahabat terbaik selama hampir 4 tahun saya kuliah di kota Malang-Jawa Timur dulu.
Abah (panggilan saya buat Paman), meninggalkan warisan terbaik buat anak-anaknya dan buat saya seorang keponakan yang pernah menumpang hidup dirumahnya. Warisan itu berupa kumpulan catatan perjalanan hidupnya, sejak masih remaja sampai beberapa hari menjelang beliau meninggal dunia.
Catatan yang ditulisnya mulai dari sehat hingga menulis dalam kondisi terbaring sakit itu, memuat berbagai angle tulisan. Tulisan tersusun mulai dari tulisan tangan, ketikan mesin tik kuno sampai ketikan komputer. Mulai dari cerita tentang sahabat masa kecilnya, cerita tentang kelahiran anak pertama, sampai cerita tentang mahasiswa yang membuatnya bangga.
Saat menemani Abah terbaring sakit dan kadang menjadi sekretarisnya menuliskan ide tulisan, beliau pernah berkata pada saya.’’Af, kamu yang sabar ya menemani saya. Karena tulisan-tulisan ini adalah warisan saya nantinya. Saya tidak meninggalkan harta buat anak cucu saya. Saya hanya punya tumpukan buku dan tulisan-tulisan saya itu buat mereka,’’.(Duh, saya merindukanmu Abah)
Kini, warisan Abah berupa tulisan-tulisan perjalanan hidup-nya itu, menjadi warisan terbaik, penuh inspirasi dan tersimpan rapi dalam satu lemari sangat besar untuk dibaca tujuh turunan. Dan saya terlanjur iri hati, untuk bisa melakukan hal yang sama. Kata Abah (lagi), suatu hari tulisan yang kecil itu, mungkin akan membuat kita tersenyum disaat seharusnya menangis dan mungkin menjadi sesuatu yang luarbiasa dari panjangnya cerita hidup kita yang biasa-biasa saja.


Baiklah, kali ini yang akan saya tulis adalah tentang hari-hari menjelang pernikahan. Saya bahkan masih tak percaya, akhirnya saya akan menikah juga xixixixi…

Saya akan menikah dalam hitungan hari lagi (Semoga Allah swt mengasihi saya dan keluarga kami untuk tidak memberikan cobaan menjelang pernikahan ini. Amin). Kebetulan saya terlahir memiliki darah Melayu, dan dalam adat istiadat budaya Melayu diatur tata cara menikahi seorang anak perempuan memiliki banyak tahapan-tahapan. Kami sudah melalui rangkaian tahapan pertama.
Pada tanggal 5 Januari 2010, keluarga calon suami saya melaksanakan acara Merisik. Merisik dalam budaya melayu adalah tahapan dimana keluarga calon mempelai laki-laki datang kerumah keluarga calon mempelai perempuan. Tujuannya untuk saling berkenalan antara dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal. Pada moment inilah, keluarga calon mempelai laki-laki mengutarakan niat untuk datang melamar wanita tercantik yang baik hati dan budinya untuk dijadikan istri seumur hidup anak laki-laki mereka (Wah, narsis banget ya nulisnya…Maaf, itu hanya perumpamaan hehehe..).
Aku pun dilamar sesuai adat budaya Melayu tanggal 7 Januari 2010 sekitar jam 7.30 malam. Keputusan untuk datang melamar ini setelah kami pacaran sekitar tiga bulan. Saya dan calon suami, baru berkenalan dan memutuskan untuk berkomitmen tanggal 13 Oktober 2009.
Karena kesibukan kerja yang tak bisa ditoleransi dan demi efesiensi waktu, acara lamaran dilaksanakan di Pekanbaru (terimakasih buat kakak sepupu-ku tersayang yang memiliki ide brilian melaksanakan acara tunangan dirumahnya saja). Saat lamaran inilah, kedua calon pengantin dipertemukan dan saling mengikat janji dalam sebuah ikatan pertunangan. Saat pertunangan ini, kedua calon pengantin saling bertukar cincin sebagai tanda ikatan tak boleh diganggu (Duh, jadi ingat lagu dangdut cuy…).
Tapi tidak seperti acara pertunangan ala selebritis di tipi-tipi, yang memakaikan cincin dalam acara pertunangan kami ini adalah perwakilan dari keluarga. Cincin pertunangan dijari saya disematkan oleh Bunda dan cincin pertunangan buat calon suami disematkan oleh Mak Cik (Bibi) saya.

Saat itu, calon suami saya yang agak modern itu layak untuk gigit jari, tak diperkenankan menyematkan cincin langsung ke jemari manis saya yang putih mulus aduhai malam itu huahahahaha…
Meski saya terlahir di negeri Raja-Raja dan memiliki darah asli anak Siak Sri Indrapura, yang menjadi pusat Melayu-nya Provinsi Riau, saya harus akui, bahwa saya tidak begitu memahami adat istiadat dalam arti yang sebenarnya. Bukan karena saya sok modern lalu melupakan adat istiadat para leluhur. Tapi mungkin saya terpengaruh dengan kata-katanya Gus Dur: ‘’Gitu aja kok repot?!?’’.
Meski dulunya pernah jadi Duta pertukaran pelajar kebudayaan Melayu Se-Sumatera, saya tetap tak mau bermain-main dengan adat istiadat tanah kelahiran saya sendiri. Maka untuk urusan pernikahan, saya serahkan seluruhnya pada keluarga besar.
Namun meski tidak begitu memahami adat istiadat, saya tahu dan saya paham, bahwa pernikahan di negeri ini adalah sangat sakral. Saya ingat pelajaran budaya Melayu waktu dulu masih SD. Kata Guru saya kala itu, setiap pernikahan di tanah Melayu, ibarat pernikahan anak cucu Sultan. Ada adat yang tak boleh dilanggar. Karena itulah, tanah kelahiranku disebut negeri berpantang. Negeri yang banyak larangan-larangannya. Itulah sebabnya pula, saya katakan pada calon suami:’’Sayang, kita ikuti saja semua aturan yang dibuat keluarga.’’.
Maka setelah bertunangan hampir 5 bulan, akhirnya kami masuki tahapan kedua menjelang pernikahan. Dalam adat istiadat Melayu dinamakan acara Hantar Belanja. Kalau lebih familiar lagi disebut acara Seserahan. Agendanya adalah keluarga calon pengantin laki-laki datang kerumah calon mempelai wanita sambil membawa berbagai barang seserahan. Seserahan ini dibeli oleh calon suami untuk calon istrinya. Mulai dari peralatan kosmetik, uang buat biaya nikah sampai aksesoris kamar pengantin lengkap. Saat inilah aku berpikir, wah senangnya jadi calon pengantin perempuan di negeri Melayu, bisa kaya mendadak dapat barang-barang baru dari calon suaminya hehehe….(Tapi jangan sesekali bilang orang Melayu matre ya. Sekali lagi, ini sudah menjadi rangkaian adat)

Saat mengantar seserahan inilah, bukan hanya menyatakan keseriusan akan menautkan dua keluarga besar, tapi juga ditetapkan dan diumumkan kepada tetangga dan kerabat dekat mengenai tanggal pernikahan sesuai kesepakatan sebelumnya. Katanya sih, bertujuan agar lebih menautkan dua calon keluarga dan tidak menimbulkan fitnah. Tapi menurutku sih, tujuan acara ini sekalian buat pengumuman sama tetangga. Kira-kira begini yang aku bayangkan bunyi pengumumannya:
‘’Wahai tetangga-tetangga dan kerabat-kerabat, sebentar lagi dirumah ini akan ada acara besar. Tolong dibantu ya buat masang tenda, mengurus tamu dan masak-masak makanan’’ (Sambil bayangin wajah Ayah dan Ibu-ku yang stres mau menikahkan anak perempuan mereka satu-satunya, xixixixixi…..)
Jadi begitulah, pada tahapan kedua menjelang pernikahan ini, saya harus memutar otak dengan kecepatan ekstra. Lebih cepat dari biasanya saat harus liputan dilokasi yang mengancam jiwa. Karena saat acara tersebut, saya bekerja di Jakarta. Sedangkan keluarga calon suami yang asli Jawa Tengah itu berada di Pekanbaru. Sementara itu, untuk acara hantaran belanja menjelang pernikahan, harus dilaksanakan di rumah tempat saya dibesarkan, yakni di Kota Siak Sri Indrapura. Benar-benar ‘’Segitiga’’ yang mematikan perasaan tenang..!
Setiap hari menunggu jadwal acara hantaran belanja, membuat saya di Jakarta setengah emosi jiwa. Karena selama ini saya selalu sibuk mengurusi acara keluarga dan selalu ada kekhawatiran, adakah keluarga yang bersedia mengurusi rangkaian pernikahan saya? (Padahal pastilah ada. Cuma sindrom khawatir ini sudah masuk stadium empat).
Tiap hari juga, saya selalu menghabiskan banyak pulsa hanya sekedar untuk bertanya pada calon suami di Pekanbaru dan juga bertanya kesiapan keluarga di Siak. Saya hanya ingin pastikan, semua berjalan secara sempurna. Because This is my wedding…! (Ckckckck, bangganya saya mengatakan itu euy…narsis lagi yak..)

Acara seserahan saya, dilaksanakan Minggu, 6 Juni 2010. Saya bangun tidur jam 08.00 WIB pagi karena malamnya begadang di bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jakarta, karena menemani seorang teman yang datang dari Pekanbaru. Waktu bangun tidur, saya langsung ingat ‘’Oh My God, ini adalah hari seserahan pernikahan saya’’. Saya langsung telepon calon suami dan dapat berita, rombongan sudah berangkat menuju rumah saya di Siak Sri Indrapura.

Maka mulailah saya dengan kepanikan dan kebiasaan sok mengatur (kata Ibu, sifat sok mengatur ini sudah sejak saya masih dalam kandungan). Saya menghabiskan waktu seharian ditempat tidur sambil memegang dua handphone. Saya telpon ke Siak, ke Hp Ibu, Hp Abang, Hp Adik, Hp Kakak Ipar sampai Hp Paman, HP bibi, Hp teman dan syukur-syukur gak nelpon ke Hp tetangga. Semua itu hanya untuk menanyakan: ‘’Sudah siapkan protokol acara? Konsumsi buat tamu? Soundsystem acara? Undangan? Makanan pembuka? Listrik nyala atau mati? Sampai nanya hal-hal gak penting lainnya yang membuat abang saya emosi jiwa. Wajar saja abang saya ngamuk-ngamuk ditelepon dan bilang saya cerewet, karena pasti semuanya sudah disiapkan sesempurna mungkin. Katanya: Dasar sok ngatur! (Hiks..!).
Itu belum seberapa, karena hampir setiap saat pula saya menelpon calon suami hanya untuk bertanya bagaimana persiapan perdana keluarganya menuju kampung kelahiran saya. Tentunya saya ingin semua berjalan secara sempurna. Karena setau saya, kesan pertama harus menggoda (Gila iklan nih).
Rombongan keluarga calon suami yang merupakan keluarga besar Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru datang dengan menggunakan bis kampus. Demi efesiensi waktu, satu keluarga-nya sepakat menggunakan satu mobil itu saja. Mungkin setiap 3 Km/jam, saya menelpon calon suami untuk memastikan tidak terjadi apa-apa pada rombongan mereka hehehehe…
Saya kadang bertanya hanya untuk hal-hal tidak penting. Tapi tidak seperti abang saya yang ngamuk-an, calon suami saya sedikit lebih sabar meski kata-katanya cukup menyakitkan karena mengatakan,’’Udah, kamu tenang saja di kos itu sendirian. Semua persiapan acara disini sudah disiapkan. Selamat menikmati sendirimu di Jakarta ya,’’. Duh, kata-kata yang menusuk hingga ke sum-sum tulang.(Hiks, sedihnya tak bisa berbaur dengan keluarga. Gimana lagi, waktu cuti kerja belum tiba)

Dan akhirnya apa yang saya khawatirkan benar-benar terjadi.
‘’Mobil mogok’’ sms calon suami itu membuat jantung saya sakit perut (kok bisa ya?). Jelas saja saya panik, karena bis kampus yang katanya masih baru itu, dan didalamnya membawa keluarga calon suami, calon ponakan plus Pak Rektor Unilak dan keluarganya itu, mogok hanya berjarak tak begitu jauh dari tempat acara. Bukan hanya saya yang panik, keluarga yang sudah menunggu dengan ratusan tamu dari tetangga dekat dan kerabat, jelas ikutan panik juga (So, wajarkan kalau saya nelpon teyussssss….?!?).
Setelah diakali sekian waktu, akhirnya dilakukanlah transit perpindahan mobil. Duh, jantung benar-benar berdetak tidak karuan. Tapi lagi-lagi, calon suamiku mengatakan dengan entengnya:’’ Gak apa-apa, kita akan mengingat moment ini untuk seumur hidup kita. Lagipula, kamu panik atau tidak panik, akhirnya tetap akan lancar-lancar juga’’.
Begitulah, meski sedikit ada hambatan, akhirnya acara seserahan menjelang pernikahan saya itu sukses juga. Saat ikrar dua keluarga berlangsung, saya tengah berada di kamar kos yang mungil di belantara Jakarta, sedangkan calon suami harus ikhlas menunggui supir memperbaiki bis rombongan yang mogok di belantara jalan yang sebenarnya.
Acara hantar belanja berlangsung meriah di rumah, tanpa kehadiran kami berdua. Memang itu sesuai adat (katanya), dimana calon pengantin tidak boleh dipertemukan dulu. Tapi menurut saya, ini tetap saja lucu. Kami memang tidak bertemu, tapi bukan hanya karena adat melainkan juga karena takdir dan kesialan Wakakakakaka……
Catatan:
Aku sungguh ingin tertawa, waktu calon suamiku ditelepon berkata:’’Huh, waktu mobil mogok dan dua mobil keluargamu datang menjemput, hanya saya yang ditinggal dan harus ikhlas menemani supir karena mobilnya udah gak muat lagi. Kata mereka, saya gak harus hadir ditempat acara. Saya pun berada dipinggir jalan, kepanasan dan kelaparan ditengah hutan sambil menunggui supir memperbaiki bis. Waktu bis-nya sudah benar dan akhirnya saya sampai juga kerumahmu, Eh acaranya sudah selesai. Tamu-tamu udah pada pulang semua. Tinggal keluargamu saja, itupun kebanyakan tidak mengenal saya sebagai calon suamimu karena memang tidak diperkenalkan. Mungkin mereka berpikir, jangan-jangan saya kernet bis yang mogok tadi (Huahahahaha…Mungkin itulah karma buatmu sayang, karena tadinya menertawakan saya sendirian di Jakarta….)

***______***
Ini bukan catatan penting bagi banyak orang. Tapi sangat penting bagi saya menjelang pernikahan (Mana tau saya punya anak dan cucu seperti Alm Paman saya itu). Jadi bila tulisan ini dinilai tidak layak memberi hiburan untuk dibaca, saya merasa tidak perlu untuk meminta maaf. Tapi bagi yang sudah terlanjur membacanya, maka saya minta bayaran, yakni mohon doa semoga di acara pernikahan saya nanti, semuanya berjalan sesuai rencana. We all be Happy….:)

Baca Selengkapnya->

ke Bogor naik motor. Not yet around the world...!

Sabtu (22/5), aku bangun agak siang. Maklumlah, ini weekend. I always wanted to have a steady job with steady income and can enjoy a relaxing vacation at the end of the week. I really like it…(hehehe, mimpi kali yeeee). Aku akui, termasuk orang yang gila kerja. Sehingga malam Minggu dan malam Senin bagiku sama saja. Selalu saja ada kerja, dikerjakan dan dikerjai (jangan bayangkan macam-macam ya). Tapi weekend kali ini, aku ingin sedikit menyenangkan diri sendiri dengan memilih nonton bioskop sendirian di 21 Plaza Semanggi.

Akhir-akhir ini, aku memang agak stres dan terbeban pikiran. Karena di Ibukota Jakarta aku hidup sendirian dengan semua kesibukan, sementara tunanganku sibuk pula sendirian mempersiapkan pernikahan kami yang hanya menghitung hari di Pekanbaru (Riau).
I never imagined my wedding to prepare like this. I can not be near people, which I love and my family..(Ah, si Birong teman ku di Jakarta yang lumayan bisa cas cis cus pasti marah-marah dengan English ku yang ngawur ini xixixi..).

Aku nonton film Shrek Forever After yang lucu abizzzzzz….yang membuat aku cekakak cekikik sendirian sambil makan popcorn and softdrink porsi BIG. Nikmat banget meski disisi lain garing abis gak ditemani pasangan. Sementara di sekelilingku pada terlihat kemesraan pengunjung dengan pasangan mereka masing-masing. Ada seorang anak kecil disebelahku umur 10 tahun. Yah, itulah pasanganku. Sementara Bapak dan Ibu si anak tadi, sepertinya asyik kembali ke masa remaja mereka. (Gila tu anak, ku tawari Popcorn sekali, eh malah minta berkali-kali. Mana ortunya cuek lagi dan malah ngasi senyuman doank bukannya ngelarang. Huh..)

Sekitar pukul 14.00 WIB, saat sedang asyik-asyik nonton, Hp ku bunyi and ada nama someone dilayarnya. Setelah berhalo-halo ria via telepon di gedung bioskop, akhirnya (Akhirnyaaaaaaaaa kerja juga kan?!?) aku harus liputan ke Bogor hari itu juga, saat itu juga!. Aku harus bisa mengejar moment berita yang akan mulai pukul 20.00 WIB waktu puncak Cisarua Bogor.

Meski sudah mengunjungi hampir seluruh kota di Pulau Jawa dan berkeliling ke berbagai kota di Indonesia dengan modal nekat (pernah naik kapal laut, sampan kayu, pernah naik helicopter, pernah pakai Hercules sampai pernah numpang truk ngangkut barang gratisan), aku tetap mikir.
Bagaimanapun kalau harus ke Bogor sendirian dengan waktu yang demikian mepet, aku harus itung-itung kemampuan dan pastinya waktu. Karena aku tidak tahu persis jalan dan transportasi legal dari Jakarta ke Bogor dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya. Jam sudah menunjukkan pukul 14.15 WIB dan aku harus ada di Bogor sebelum jam 20.00 WIB.

Birong! Nama itu tiba-tiba berputar di kepalaku. Birong adalah sahabat yang aku temukan (wuiiih, kayak anak buangan ditemukan cuy) waktu aku liputan di kementrian keuangan Jakarta. Waktu dia bilang namanya Birong, aku langsung ingat kucing Garong (Wakaka). Ternyata Birong itu artinya hitam dalam bahasa Batak dan memang dia hitam. Biar dia gak marah, disini aku tulis hitam manis yak.

Dulu waktu pertama ketemu Birong Awalnya aku senang, bisa ketemu sama orang satu Pulau. Suku Batak itukan dari Sumatera Utara dan aku dari Riau, sama-sama dari Sumatera. Tapi ternyata sodara-sodara setanah air dan sebangsa, si Birong ngakunya aja orang Batak, ternyata dia itu malah lahir dan besarnya di Jakarta. Cuma numpang nebeng nama suku Nababan doank. (Sodaraan kali ye sama Nababan-nya RCTI hehehehe).

Nah, karena merase Birong ini anak asli Jakarte, saye pun bertanye same die jalan ke Bogor’e (Duh, repot). Tapi jawaban Birong gak memuaskan. Malah ngaku gak tahu aku harus pakai angkot apa ke Bogor. Eh, bukannya ngasi solusi yang lebih bijak, Birong malah suruh aku naik taksi lewat tol. Gila aja apa naek taksi ke tempat yang aku gak tahu persis. (Duh Birong, aku ini bentar lagi mau nikah, aku juga manis, kalau nanti dilariin sama supir taksi, gimana dunk. Kan repot?? Hehehe).

Aku pun menelpon tunanganku tercinta and I get a Surpraiseeeeee…..’’Kamu naik motor aja sayang. Kamu kan lagi suntuk di Jakarta. Udah naik motor aja gak apa-apa. Kamu kan wanita hebat, kemana-mana aja kamu bisa. Dulu waktu liputan gempa di Padang Pariaman aja naik motor sampai 11 jam kamu bisa sendirian. Asyik lho jalan naik motor ke Bogor, kan gak jauh dari Jakarta. Kamu selama inikan cuma hafal jalan dari Palmerah tempat kos mu ke Jakarta Pusat, tempat kerjamu aja. Udah motornya gak usah diservis, motor Vario barumu itu masih kuat kok. Yang penting kamu yakin fisik badan kamu sehat. Nanti jangan lupa makan dulu, isi bensin motor dan tetap jaga komunikasi ya sayang. Nanti kalau kekurangan uang, saya transfer dari sini. Jangan lupa, kalau nanya jalan sama polisi,’’.

Ya, itulah kata-kata dari tunanganku tercinta yang membuat aku semakin cinta. Dia memang laki-laki pilihan tuhan yang sangat mengerti dengan jiwa petualangan yang aku miliki. Bahkan dia sangat memahami lebih dari pemahamanku tentang dia. Dia adalah orang yang selalu memberikan aku support dalam bekerja bahkan rela menunggu jatah ditelpon ditengah malam buta setelah aku pulang kerja. Duh, mendadak melankonis dan tambah sayang aja. (Lebaaayyy).

Begitulah sodara-sodara, akhirnya berbekal semangat dari tunanganku sayang (lebay gila), aku akhirnya memilih naik motor ke Bogor. Cihuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…….Aku berhenti di sebuah minimarket dan belanja minuman, makanan, permen, sandal jepit, penutup muka, minyak angin dan baju kaos. Karena mengingat jadwal liputan yang sudah sangat mendesak, dari Plaza Semanggi aku memutuskan tidak balik ke kos lagi dan langsung ke Bogor saja lewat jalur menuju jalan Raya Jakarta-Bogor.

Baru saja meninggalkan kota Jakarta dari arah Semanggi, Dresssssssssssssssssssss….hujan deras mengguyur. Aku senyum-senyum aja. Asyik, exciting experience in starting..!!! Aku keluarkan jas hujan. Yang aku selamatkan lebih dulu adalah tas ransel coklat kesayanganku. Karena didalamnya adalah harta berharga. Laptop, kartu tanda pengenal, dompet, atm, buku, jadwal kegiatan, daftar wawancara, nomor telepon narasumber, surat cinta (halah)…dan lain-lain. Makanya aku selamatkan dengan sepenuh hati dan jiwa raga biar tidak terkena setetes hujan pun.

Namun sepanjang perjalanan, benar-benar hujan terus (bahkan sampai ke Puncak Bogor). Sepanjang perjalanan, beberapa kali aku bertanya mengenai arah jalan ke Kota Bogor. Jawaban yang sering aku dapat adalah ‘’Lurus aja neng, jangan belok-belok. Pokoknya lurus aja,’’. Karena tak juga sampai-sampai sementara hujan tetap saja mengguyur, aku pun beberapa kali menyempatkan berhenti sejenak dan bertanya lagi dan bertanya lagi dan bertanya lagi. Sama tukang ojek, sama anak sekolah, sama penjual makanan, sama pengendara, sama pengamen di lampu merah, dan terakhir sama polisi.’’ Ooooo, mau ke Hotel Ever Green Puncak, pokoknya Neng luruuuuuuuuuuuuuuuuussssss aja,’’ Duh, jawabannya lurus teruuuuuuuuuuuus.


Seperti hobi ku yang selama ini sering keliling kota-kota di tanah air, adalah melihat kebiasaan masyarakatnya. Begitu juga saat aku sedang naik motor dan memasuki kota Bogor menjelang malam pukul 17.45 WIB (udah mulai gelap). Disana, cowoknya cakep-cakep cuy. Sayang, aku sudah punya lelaki yang lebih cakep (secara udah tunangan dan mau nikah), makanya tak mungkin aku tergoda. Selain itu, aku tertawa cekikikan masih bisa melihat rumah makan yang berjudul ‘’RM Padang Lembah Anai’’. Hihihihi…orang Padang memang penguasa pengusaha makanan dimana-mana. Sekitar pukul 19.30 WIB, aku sampai ke lokasi acara.

Tercatat, sepanjang jalan dari Jakarta ke Bogor naik motor, aku selalu diguyur hujan. Mulai dari hujan ringan, hujan sedang sampai hujan kelewatan! Wajar kiranya Bogor didaulat sebagai salah satu kota dengan curah hujan paling tertinggi di Indonesia. Kata penjual tongseng tempat aku mampir, kalau tidak hujan maka bukan Bogor namanya. Ck.ck.ck.ck.ck…segitunya ya?

Inilah resiko (plus sengsaranya) jadi wartawan. Tuntutan profesi tidak mengenal kata lelah untuk membuat liputan yang baik. Meski badan setengah remuk-remuk rasanya kehujanan hampir 3 jam naik motor dari Jakarta ke Puncak, aku tetap langsung meliput kegiatan yang menjadi tugasku. Serunya lagi cuy, aku harus begadang sampai jam 4 pagi karena jam 2-nya terjadi kericuhan ditempat acara. Ada yang bantingin kursi, bantingin meja dan teriak-teriak mau bakar lokasi acara. Bahkan pertama kali saat rusuh itu, aku lihat ada evakuasi pejabat ala FBI-nya Amerika Serikat didepan mata. Keren euy hehehe….
Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh tiba. Duh lelahnyaaaaaa…..

^^^^^^^^^^^_________^^^^^^^^^

‘’Sayang, bangun dong. Mau dibangunin jam berapa?,’’
‘’Sekitar jam 8 Lah ya. Soalnya baru tidur pagi jam 4 lewat’’ (dengan mata masih tertutup)
‘’Lho, ini sudah jam 9 pagi sayang. Bangun dong..’’
‘’What..?!? Jam 9…!!@@#@%^%&^*$’’
Duh, kenapa tunanganku itu baru banguninnya jam segini ya? Biasanyakan dia rajin bangunin sholat Subuh (ck.ck.ck…bukannya berterimakasih. Thanks ya say). Akhirnya aku dengan terburu-buru mandi. Duh sumpah, dingin banget air hotel di puncak Bogor ini. Masa iya, hotel semewah ini gak ada air panasnya. Siwalan!

Abis mandi, aku langsung buka laptop dan ketik berita kerusuhan yang terjadi dini hari tadi. Setelah ngirim berita ke email redaksi, aku langsung berangkat kembali ke lokasi acara. Kegiatan wartawan pun aku jalani lagi masih dengan pakaian dan aksesoris yang sama (karena tak bawa baju ganti) sampai sore pukul 17.00 WIB.

Dan tebaklah sodara-sodara. Baru saja pasang ancang-ancang mau pulang lagi ke Jakarta, tiba-tiba Dreesssssssssssssssssssssss…..hujan lagi! Hujan lagi! Hujan lagi! Duh teganya. Untunglah untuk jalan pulang ini, rekan satu kantor ku mau menemani pulang naik motor. Tentunya dengan seizin tunanganku karena harus boncengan dengan laki-laki lain (duh, repot).’’Ah, gak pa-pa yank, bareng Bang Yudi justru saya merasa kamu lebih aman pulang ke Jakarta. Kan capek kemarin dari Jakarta sendiri’’. Asyikkkkkk…peluang untung selingkuh nih…huahahahahaha…(Calon istri durhaka!)

Diatas motor, sekarang ada teman menyanyi sendiri-sendiri. Dengan Bang Yud, aku pun asyik bercerita tentang pengalaman liputan kami. Dan perjalanan benar-benar tidak terasa dan sesaat sebelum memasuki Jakarta, kami berhenti untuk makan seafood di tepi jalan. Gila enak beneeeeeeerrrrr, abis hujan-hujan makan kerang rebus bumbu padang, makan cumi dibumbu pedas pakai sayur kangkung panas-panas….(TE.O.PE.BE.GE.TE)

Dan sekitar pukul 20.40 WIB malam, aku sampai di depan kos ku di Kemayoran, Jakarta Selatan. Duh, baru terasa lelahnya naik motor ke Bogor. Tapi senyum-senyum sendiri mengingat asyiknya. Ssssttt…sekedar buka kartu, sekarang lagi rencanakan pergi jalan ke LN sama Birong dan Mbak Lili, rekan-rekan di Kemenkeu akhir tahun ini. Tapi si Birong mo izin sama Bapaknya dulu (Duh, anak papi juga ternyata preman satu tu). Calon suamiku yang pengertian itu tadi malam cuma bilang,’’ Ehmmm, masih kepikiran juga ya?,’’ Duh, gak tega rasanya ngasi jawaban. Tapi gimanapun, boleh dong lebih dari sekedar bermimpi. I want around the World…Free! (Hari gini Free, mimpi kaleeee)

Impianku, Vario ku tersayang bisa parkir di depan White House-nya Obama atau Menara Eiffel Paris. Pasti seru…! Xixixixixixi..Nothing imposible. Everything started from a dream, right???

Mei_2010
Dengan suami tercinta...

Baca Selengkapnya->

Senin, 06 September 2010

Gedung Tua dan Gedung Setan

Hari ini, tidak seperti biasanya. Mendadak sepi berita. Kalau sudah begini, bawaannya suntuk aja. Sebenarnya, tidak ada alasan seorang wartawan kehilangan sumber berita. Karena apapun bisa saja diberitakan atau dikerjakan. Hanya saja, mungkin sejak diberitakan Sri Mulyani akan lengser dari jabatannya sebagai Menteri Keuangan, mendadak merata terjadi krisis berita di kalangan anak ekonomi yang sehari-hari liputan di kantor Kementrian Keuangan.

Mami (sapaan anak Forkem: Forum Wartawan Ekonomi dan Moneter pada Sri Mulyani) mendadak jadi menjauh. Bila biasanya ramah lewat sambil tersenyum ramah di depan pintu loby utama, sekarang si Mami selalu lewat pintu basement yang letaknya diparkiran. Mana betah anak-anak nunggu di sana. Karena letaknya di lantai dasar dekat parkiran, panasnya nauzubillah.

Bukan soal malas nunggunya (karena tugas wartawan adalah menunggu sumber berita), tapi si Mami yang biasanya ramah senyum, sekarang wajahnya selalu manyun. Pengawalannya mengalahkan Presiden Obama datang (maybe). Ketat dan menyeramkan dengan bodyguard, ajudan plus pengawal kepolisian. Mending kalau Mami mau bicara, lihat kamera televisi saja sudah langsung memilih katup bibirnya rapat-rapat. Jadilah anak-anak Forkem selalu gigit jari.

Rekan-rekan Forkem biasanya mengatakan ‘’Daerah jajahan kita sekarang dikuasai anak politik’’. Begitulah kondisinya. Sejak kasus bailout Century yang sebenarnya kasus hukum tapi menjadi bulan-bulanan di kancah politik, nasib wartawan ekonomi di Kemenkeu seperti anak ayam kehilangan induknya . Bila biasanya pertanyaan seputar tax ratio, Product Domestic Bruto, Yield, Growth, swap dollar, year on year economic, kini berputar arah menjadi pertanyaan seputar Sri Mulyani dan semua hal yang terkait politik. Apalagi sejak Mami menyatakan letak jabatan, jadilah daerah kekuasaan yang berada di lantai dasar Kemenkeu, di kuasai hampir seluruh anak-anak TV yang siarannya berulang-ulang kali mengarahkan berita ke nuansa politik. Benar-benar di jajah abis.

Untuk mengobati rasa patah hati putus cinta dengan Mami, biasanya hiburan buat anak-anak Forkem dibayar setiap hari Jumat siang. Menteri Perekonomian Hatta Radjasa mengundang acara temu ramah mingguan. Tiap hari Jumat pula, uang belanja bisa sedikit dihemat. Soalnya Pak Hatta sekalian menjamu wartawan makan-makan. Tapi jangan bayangkan makan mewah ya (semeja dalam satu ruangan dengan Menteri), karena hidangan yang disediakan hanya nasi kotak. Tapi isinya macam-macam.
Menariknya, tiap makan siang dengan Pak Hatta dan jajarannya, nasi kotak ini jadi menu merata semuanya. Jadi mulai dari satpam, wartawan, eselon I sampai Menteri, sama-sama makan nasi kotak. Meski nasi kotak, tetap terasa nikmat. Yang lebih nikmat lagi, setelah makan bisa dapat sumber berita banyak.

Biasanya pada moment pertemuan sekali seminggu ini, anak-anak Forkem kebanjiran catatan. Usai makan, Pak Menko (sebutan untuk Hatta), memberikan waktu wawancara santai sekitar 30-45 menit (kalo lagi baik hati bisa 1 jam). Mau nanya apa saja ya silahkan. Pasti dijawab dengan berbagai ekspresi sambil ketawa ketiwi. Tapi (biasanya) juga nih, anak-anak Forkem pulang dengan wajah sedikit kecewa. Soalnya yang ditanyakan kadang dijawab dengan tema berulang-ulang dan (maaf) susah dicari angle ekonomi yang menarik (orang politik siiiihhhhh).

Letak kantor Menko Ekonomi dan Menteri Keuangan hanya bersebelahan. Terletak di sekitaran jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dua gedung ini hanya dipisahkan oleh jalan Doktor Wahidin.
Kantor Menko Ekonomi, disebut juga Gedung tua, karena bangunannya dibangun sejak zaman Belanda. Kadang ngeri-ngeri sedap juga melewati gedung ini kalau pulang liputan malam-malam (parkir motor selalu di lingkungan gedung ini). Benar-benar seluruh strukturnya adalah struktur yang dibangun zaman Belanda. Warnanya putih kecoklat-coklatan. Bukan warnanya paduan putih dan coklat, tapi coklat karena sudah cukup umur. Usia gedung tua ini katanya sudah lebih 100 tahun. Dulunya tempat berkantor Gubernur Belanda.

Tapi tempat berkantor Hatta Radjasa ini, sudah dipermak di sana-sini agak lebih modern lagi. Sudah pake lift dan standart hotel. Dulunya, gedung bangunan ini juga menjadi kantor Menteri Keuangan. Di pojok kiri lantai utama, ada Galery Keuangan Indonesia. Disini terletak sejarah keuangan sejak zaman Belanda, zaman Jepang dan zaman pasca kemerdekaan. Semua yang berkaitan dengan sejarah keuangan Republik Indonesia (termasuk sepeda ontel yang dipakai pegawai pajak di zaman Belanda) ada di Galery Keuangan ini. Nah, dipojokan Galery keuangan inilah biasanya anak-anak Forkem pada keleleran (bahasa lainnya kongkow-kongkow atau selonjoran), menunggu narasumber atau mengetik berita.

Jika tidak di gedung tua, anak-anak pergi ke gedung Setan, yang tepat berada di seberang jalan. Gedung Setan adalah plesetan dari gedung C. Gedung C adalah gedung Juanda I Kementrian Keuangan, tempat Sri Mulyani berkantor. Awalnya aku heran juga, kenapa dibilang gedung Setan ya? Padahal gedung ini dari luarnya saja sudah sangat modern. Didominasi warna biru tua khas warna logo Kemenkeu. Aku menduga, jangan-jangan dipanggil gedung setan karena ada lambang mata angin (yang gak jelas entah itu mata angin atau apa) yang berada ditengah-tengah gedung dengan 20 lantai ini. Atau jangan-jangan, dipanggil gedung Setan, (karena) sejak kasus Gayus Tambunan mencuat.
‘’Nggak-nggak, itu disebut gedung Setan karena plesetan saja. Karena Gedung itu namanya Gedung C diantara bangunan lainnya di lingkungan Kementrian Keuangan,’’. Kata-kata teman Forkem ini cukup menenangkanku. Karena aku termasuk anti dengan kata-kata Setan. Seram aja membayangkan kalau bertemu setan beneran.

Di gedung ini, sama dengan gedung perkantoran Menteri lainnya, selalu dimulai dengan penjagaan ketat melewati pintu metal detector. Tapi sejak tiap hari wara wiri, satpamnya tinggal beri senyuman saja, aku sudah diizinkan lewat. Di pojok kanan lantai utama gedung setan, ada ruangan berukuran sekitar 10X5 meter. Ber-AC, lantai keramik mulus, ada televisi layar datar 29 inc, ada playstation, ada komputer layar datar 6 PC, meja panjang dengan kursi empuk dan fasilitas Wifi. Nyaman sekaleeeee….

Inilah ruangan Press room Kementrian Keuangan yang menjadi basement anak-anak Forkem. (Baik ya Mami, ngasi ruangan sebagus ini). Diruang inilah biasanya anak-anak Forkem menunggu konfirmasi acara Menkeu dan jajarannya. Kadang-kadang dapat pantulan (sebutan untuk press release yang tinggal diketik dan diatur redaksinya hehehe…).

Dulu aku pernah sedikit menyombongkan diri (nyesal sekarang), bahwa aku seorang wartawan yang gila kerja. Yang sering dikritik keluarga karena sering pulang malam dan tidak mengenal jam tugas. Aku dulu berpikir, aku bisa menghabiskan waktu menunggu narasumber dan memberikan informasi berita yang layak jual kepada pembaca daripada harus santai-santai saja di kantor dengan ruangan AC yang nyaman. Tapi ternyata, begitu sampai di Ibukota, aku ternyata bukan siapa-siapa.

Rekan-rekan wartawan yang aku kenal (khususnya anak-anak Forkem), lebih gila lagi dari kegilaanku. Panas terik plus macet, hujan lebat plus angin kencang, dari siang hingga tengah malam saat rapat dengar pendapat di DPR, atau narasumber yang rapatnya bisa membuat uban tumbuh, namun rekan-rekan Forkem tetap setia menunggu berita plus narasumbernya.

Pernah suatu ketika, aku sudah tak sanggup lagi untuk pindah ke lokasi acara lainnya dan berencana untuk pulang saja karena sudah mulai menjelang malam. Saat izin pulang, rekan-rekan dengan santai bilang begini: ‘’Kok Pulang Af, ini kan masih sore?,’’. Duh, malunya jadi wartawan pemalas. (Padahal dulu merasa yang paling rajin. Ternyata diatas langit memang ada langit).

Upsss..sepertinya sekian dulu sekilas tentang gedung Tua dan gedung Setan. Dua gedung yang menjadi kantor-ku selain kantor utama di Graha Pena-Jakarta Selatan. Sepertinya bakal ada berita bagus hari ini. Barusan ada kabar, Mami segera turun dari ruang kerjanya di lantai III gedung Setan, hendak pergi rapat ke Istana Negara (Bisa nyegat dorstop wawancara nih). Trus nanti jam 5 sore akan ada acara di lantai II gedung Setan yang akan di hadiri Mami juga (akhirnyaaaaaa ada beritaaaaa…). AC di ruangan Press room ini benar-benar menghipnotis. Caiyoooooo….keep smile dan tetap semangat. Terimakasih udah betah membacanya ya….kapan-kapan kita sambung lagi ceritanya.

Memory Of SMI-11’March
At Press Room Devil Building

Baca Selengkapnya->

Berkampung di Ibukota...

(Cerita tentang hidup perdanaku di Ibukota)

Dulu waktu ku masih kecil, sepotong bangunan dengan tumpukan obor terbuat dari emas di puncaknya, menghiasi sudut dinding rumah kayuku. Kata Ibu, itu namanya Monas. Letaknya di Ibukota Indonesia, Jakarta. Kata Ibu, kalau ku besar nanti dan banyak uang, aku baru bisa kesana.’’Karena letaknya beda pulau dan kita tak punya uang banyak sekarang Nak,’’. Akhirnya, di buku gambar waktu masih duduk di Taman Kanak-Kanak, aku sering menggambar si Monas. Lalu gambar yang tak punya nilai seni itu, kunamakan: Tempat Mahal. Guru TK ku memberi gambar itu dengan nilai berbentuk senyuman.

Kini, sekitar 24 tahun kemudian. Aku akhirnya sampai ke tempat mahal itu. Tidak lagi menggambarnya di atas kertas, namun menjadi penghias di setiap perjalanan kerjaku. Takdir hidup, membawaku menjadi bagian dari si tempat mahal. Tiap pagi dan tiap sore, motorku yang cicilannya masih puluhan bulan, mengelilingi si obor emas itu. Aku sering termangu, ternyata mimpi itu tidak semahal yang ku kira. Jakarta, kini jadi tempat berpijakku. Di bawah langitnya, segala mimpi tengah kurajut dari sulaman keberanian mengubah nasib. Memang tak ada salahnya bermimpi. Sebelum di negeri yang katanya kaya raya ini membuat pajak untuk sebuah mimpi. Apalagi dari anak kampung seperti ku.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, aku hanya bermodalkan nekat dan niat. Di dompet, lebih banyak penghias daripada lembaran kertas. Aku yakin, kota ini memang sulit ditaklukan. Tapi bagi perantau, segala ranjau jangan dihadang dengan risau. Sebagai anak kampung biasa, tinggal di Ibukota bagiku sama saja. Di kampung ku, ada hutan kayu. Di Jakarta, juga banyak hutan, tapi namanya hutan beton. Kalau di kampung, ada harimau hutan. Kalau di kota, justru ada macam-macam. Ada yang imut bagai marmut. Ada yang galak, bagai macan. Ada yang lucu, seperti kelinciku dulu. Ada buaya, ada musang. Pokoknya macam-macamlah. I like this city, karena banyak preketiew-preketiew…hehehehe.
(Aku sudah merantau sejak tamat SD. Sudah mengenal pahit,manis,asam,tawar dan kecutnya hidup tak bersama keluarga. Jakarta masih belum ada apa-apanya. Karena dulu aku merantau, tak punya modal apa-apa selain doa dan semangat saja)

Yang kucari pertama kali adalah tempat berteduh. Pertamanya, aku dapat tempat kos dekat kantor. Tak begitu jauh. Di tempat ini, aku tinggal sekitar 3 minggu. Selanjutnya, aku pindah ke kos baru. Agak jauh dan masuk ke kampung-kampung. Aku memilih pindah untuk mencari tempat yang sesuai selera hati. Tempat dengan hiruk pikuk kota namun tetap ada nuansa kampung-nya. Sahabat terbaik ku di kota ini, Mbak Levi, yang juga teman kantorku, menyarankan lokasi kos yang sama dengan tempat kos-nya. Kampung di tengah kota. Kota yang ditengahnya ada kampung. That’s my home.

Aku tak hafal alamat lengkapnya. Tapi orang-orang bilang, letaknya di Kemandoran. Aku tak tahu nama kecamatannya apa, yang kutahu, kalau naik taksi tinggal bilang Kemandoran-Palmerah-Jakarta Selatan.

Mencari kos ku, tidak susah tapi tidak juga mudah, khususnya bagi orang baru yang menginjak Jakarta. Kalau dari Bandara Soekarno Hatta, tinggal naik Damri jurusan Blok M. Lalu bilang sama kernet, minta turun di Slipi Palmerah. Dari tempat turun, menyeberang jalan melewati bawah tol. Lalu pilih, kalau naik ojek, bayar Rp 15 ribu dan bilang ke Kemandoran. Kalau naik angkot, ambil jurusan 09 dan turun di simpang Kemandoran. Kalau naik taksi, lebih gampang lagi. Tinggal siapkan saja uang Rp 20 ribu. Dijamin sampai alamat. Ke Kemandoran.

Posisinya, setelah melewati pasar Palmerah, belok kanan, lalu ketemu kantor Group Kompas, lurus terus, ketemu belokan dan persis sebelah kiri, ada pangkalan ojek Kemandoran. Dari sana, aku sarankan lebih baik menelpon aku saja, masalahnya jarang ada yang bisa menemukan alamat kos ku itu. Karena harus masuk perkampungan. Meski letaknya tidaklah begitu jauh dari tempat turun di pangkalan ojek tadi.

Letak kos ku, berada di sebuah gang bernama Pulo Cempaka 2. Disini, semua rumah posisinya rapat-rapat. Warganya lebih banyak pendatang. Sedangkan penghuni asli, lebih banyak menyulap rumahnya jadi kos-kosan atau rumah kontrakan. Tidak ada sejengkal tanahpun yang tersisa. Bahkan, pelataran mesjid setiap kali sholat Jumat, harus mengambil badan jalan untuk tempat sendal jemaah. Soal tak ada tanah ini, aku jadi ingat keluhan Mbak Levi, sahabat kos-ku yang sedang hamil. Mbak Levi pernah mengeluh begini,’’Kira-kira dimana ya besok menguburkan ari-ari anak Mbak ini?,’’ Begitulah kondisi tak ada sejengkal tanah ang semuanya sudah disulap menjadi bangunan.

Begitu masuk ke gang menuju kos ku, harus berjalan pelan-pelan (kalau pakai motor. Karena mobil tak bisa lewat, tak cukup), soalnya jalanan sering dijadikan taman bermain anak-anak kampung. Disini tak ada rumah yang punya halaman. Seringnya, anak-anak ini bermain kelereng ditengah jalan. Kalau ada motor yang lewat, mereka akan teriak-teriak ‘’Hati-hati ya, jangan rusakkan letak kelerengnya’’. Biasanya, kalau motor yang lewat tak sengaja menabrak posisi kelereng, anak-anak hanya bisa menggerutu dan memulai permainan dari awal lagi.

Sekitar 500 meter dari mulut gang, sebelah kiri, adalah pintu masuk ke arah kos-kosan ku. Masih ada gang lagi, kali ini lebih kecil dari yang tadi. Hanya cukup untuk lewat satu motor saja secara bergantian. Letak kos ku di lantai dua. Sebenarnya, lebih tepat di sebut lantai 3. Karena ada dua susunan rumah dibawahnya. Namun susunan yang satu lagi, lebih tepat ku sebut, terletak agak kedalam tanah.

Aku tak ingin membuat strata berdasarkan letak posisi kos-kos an. Tapi untuk lebih jelas menggambarkan, rasanya tetap harus kujelaskan juga mengenai ‘’kelas’’ tak resmi ini.

Pada susunan rumah paling bawah, terdapat enam kamar, tanpa jendela. Hanya pintu kecil biasa. Barisan rumah ini, hanya memiliki satu kamar mandi yang dipakai secara bersama-sama. Ukuran kamarnya sekitar 3X3,5 meter. Bagian depannya, jangankah halaman apalagi jemuran, untuk jalan saja harus satu-satu karena sempitnya. Bahkan cahaya matahari, tidak masuk ke barisan rumah ini, karena bangunannya diapit oleh dinding bangunan lantai 2 dan 3. Karena tidak ada cahaya matahari, alhasil jalanan yang sempit tadi berubah wujud. Jadi jemuran sekalian barisan peralatan dapur. Ada juga yang letakkan peralatan dapurnya di dalam kamar, berhimpitan dengan peralatan tidur. Dibarisan rumah ini, terdapat enam rumah tangga (KK).

Ada sekitar 8 orang anak kecil dibawah usia 10 tahun, tinggal di kos tanpa cahaya matahari ini. Harga sewanya Rp 250 ribu per bulan. Listrik secukupnya. Air bersih ngantri. Kalau siang panas, kalau malam lebih panas lagi. Terkadang penghuni rumah barisan pertama ini, harus memboyong anak-anak mereka, sementara tidur di tangga lantai 2 menuju lantai 3, untuk sekedar mendapatkan udara segar. Kalau si kecil sudah terlelap, baru pelan-pelan dibawa ke 3X3,5 meter tadi. Berbaur dengan suara adukan masakan tetangga atau suara seduhan kopi yang cukup memekakkan telinga. Begitulah kondisi kamar kos lantai 1.

Di lantai kamar inilah, ada seorang Mbak-Mbak, yang aku panggil ‘’Mama Vany’’. Nama anaknya adalah Vany. Makanya ku panggil demikian. Anaknya ada 3. Paling besar umur 9 tahun, terpaksa berhenti sekolah sementara karena diboyong orang tuanya ke Jakarta. Di kampung tidak ada lagi kehidupan, begitu kata Mama Vany, saat ditanya alasannya berani memboyong keluarganya ke Jakarta dari salah satu kota di Jawa Tengah. Bersama suami dan tiga anaknya, Mama Vany jadi tetangga ku yang baik. Mama Vany pula yang membantu membersihkan kamarku, mencuci, menyetrika, menghidangkan secangkir teh panas tiap pagi dan malam saat ku pulang kerja. Ngerokin badan kalau kecapean. Membantu mendorong motor ditempat jalan yang kekecilan dan tiap hari selalu bertanya, apa-apa saja yang kuperlukan. Untuk semua itu, tiap minggu aku memberikan bayaran secukupnya dan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya pada Mama Vany. Di kota sekejam Jakarta, Mama Vany bekerja sebagai buruh cuci. Sementara suaminya, bekerja sebagai pemungut bola golf di Senayan. Dari penghasilan pas-pasan itu, mereka menghidupi tiga anaknya dan menyewa kos tanpa cahaya matahari tadi. Meski begitu, sepertinya mereka bahagia.

Di Lantai 2, ada lima barisan kamar, kiri dan kanan. Tempat ini cukup lumayan. Ukurannya sekitar 3X4 meter. Meski sama saja tidak menerima cahaya matahari secara langsung, paling tidak masih bisa sedikit menghirup udara pagi. Pastinya tidak nyaman, karena tetap saja yang banyak terhirup adalah bau gelantungan pakaian yang dijemur atau bau masakan dari barisan peralatan dapur disepanjang jalan depan kamar. Di barisan kamar sebelah kiri, ada dua kamar mandi dipakai untuk umum. Sedangkan dibarisan kamar sebelah kanan, kamar mandinya sudah ada didalam kamar masing-masing. Ada harga, tentu beda. Untuk sebelah kiri, per bulannya Rp 300 ribu. Sedangkan untuk sebelah kanan Rp 400 ribu per bulan.

Di dua barisan kamar ini, semua tetangganya baik-baik, ramah dan bersahabat. Setiap pagi, selalu terdengar sapaan ramah khas orang-orang kampung. Yup, hampir semuanya adalah orang kampung. Merantau ke Jakarta, dengan membawa serta seluruh isi kampung. Anak, adik, sepupu. Bahkan ada yang sudah ngekos di tempat itu hampir 17 tahun!!! Mulai dari si anak baru pandai jalan, sampai sekarang sudah bisa cari kerjaan. Dan pekerjaan si ibu tetap setia jualan ketoprak. Ketopraknya enak. Waktu pertama kali beli, aku dikasi buanyak dan gratis. Tapi tak mungkin aku tak membayar. Bahkan ku bayar dua kali lipat, karena ketopraknya di kasi dua kali lipat pula. Alhasil, setiap pagi si Mbak ketoprak terus teriak-teriak dari depan kamarnya.’’Mbak, mau sarapan ketoprak lagi gak??,’’. Ah, tetanggaku memang baik dan ramah.

Letak kos ku sendiri di lantai 3. Tapi karena posisi bangunannya yang di desain sedemikian rupa (padahal memanfaatkan semaksimal mungkin tekstur tanah oleh si pemilik bangunan), tiap hari aku hanya menaiki satu lantai saja. Di lantai 3 ini, ada empat kamar. Begitu menaikinya, langsung mendapat udara segar. Meski pemandangan tetap saja ke jejeran rumah-rumah ‘’rapat dan kumuh’’ disekitarnya, namun penghuni lantai atas ini mendapat bonus. Bisa melihat pemandangan secuil kota Jakarta. Bisa melihat pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Bisa melihat langit biru nan indah. Bisa mendapat cahaya segar, pagi, siang dan sore. Bahkan kalau tengah malam, saat suasana benar-benar sepi, bisa terdengar suara pengumuman pemanggilan taksi dari loby hotel Mulia Senayan. Hotel bintang lima yang cahaya kamar mewahnya, bisa terlihat dari pintu depan kamar mewah ku hehehehe…

Di barisan ketiga ini, posisi kamarku berada paling pojok. Tetangga pertamaku, cowok, masih lajang. Orangnya baik sama tetangga dan ramah sama kucing. Setiap kali pulang kerja, pastinya sama-sama malam, banyak kucing mengikutinya dan dia pasti beri makan semua seadanya. Tetangga kedua ku, sepasang suami istri. Mbak-nya ramah sekali. Kalau ada makanan, sering dibagi-bagi. Karena dapurnya didalam kamar, sering tercium bau masakan yang uenak. Dan kalau malam sepulang kerja, selalu dapat tawaran makanan jadi. Seringnya aku tolak, karena setiap pulang, sering sudah kenyang. Sedangkan tetangga ketigaku, lagi-lagi cowok lajang. Tetangga yang ini, jarang bisa berjumpa. Sama-sama sibuknya.

Setiap kamar di lantai tiga ini, ada kamar mandinya didalam. Semuanya berlantai keramik sederhana. Ada jendela. Luasnya sekitar 3X4. Memang kecil, tapi sangat nyaman. Di depan kamar, tidak ada jejeran kompor atau jemuran. Semuanya bersih dan bisa menjemur di samping barisan kamar. Berbeda fasilitas, beda pula harga. Setiap bulan, aku harus mengeluarkan Rp 500 ribu untuk tinggal di barisan teratas kamar kos-kos an ini.

Si 3X4 ini, pertama kalinya berwarna krem. Cukup kotor. Kata tetangga nomor dua ku, kamar ini pernah dihuni sekitar 8 orang cowok-cowok kuli bangunan. Pantas saja, ada tulisan seperti tanggalan lalu dipojoknya terdapat catatan ‘tanggal gajian’. Lalu ada tulisan ‘ai lov yu’ dengan ejaan bahasa Inggris yang salah total. Ada gambar tengkorak kecil-kecil dan jejak kaki besar-besar di dinding. Ufff, namanya juga bekas kamar kuli. Aku pun merogoh kocek Rp 200 ribu untuk mengecat ulang kamar kecil ku ini.

Akhirnya kamar ku berubah warna. Awalnya ingin warna krem. Tapi tukang cat yang tak lain adalah tetanggaku sendiri, entah atas perintah dari siapa, mengecat kamarku dengan warna ungu. Alhasil, saat masih kerja di kantor, teman kos ku ngirim sms yang bunyinya:’’Selamat ya Af, kamarmu sudah indah dengan warna janda’’. Saat ku pulang, ternyata kamar kuli bangunan sudah berubah manis dengan warna ungu terang. Ah, tak mengapa, meski warna janda tetap saja lebih kelihatan bersih dari kondisi semula. Lagipula, kalo tinggal sendirian gini, memang merasa jadi Janda kok xixixixi…

Dalam si 3X4 ku, di pojok kiri ada kasur seharga Rp 100 ribu. Lantai keramik diberi alas karpet murah meriah warna merah. Kasurnya ditemani bantal dan satu guling. Aku tak bisa tidur kalau tak ada guling. Lalu ada lemari lucu dua pintu tiga lantai warna biru. Disebelahnya rak plastik tiga tingkat untuk meletakkan barang-barang aksesoris pekerjaan dan buku, warna pink. Ada kotak musik warna hitam, yang memutar lagu-lagu kesayangan orang yang ku sayang. Di atas lemari, ada tas hitam besarku waktu bawa baju pindah-pindah dulu dan stik biliar yang dibawa khusus. Sayangnya, hobi ku yang ‘’kontroversi’’ itu, justru jarang tersalurkan lagi. Sudah habis waktu hanya untuk kerja saja.

Di kos seperti ini, suasana ramah selalu menyapa. Meski terkadang aku harus mengurut dada melihat kondisi kehidupan penghuninya. Hidup dengan apa adanya. Hidup dengan seadanya. Hidup dengan tiadanya. Tapi inilah pelajaran berharga tentang Jakarta. Meski hidup dengan makan yang didapat dari kerja seharian, keramahan tak hilang dari sebagian orang-orangnya. Keramahan yang jadi barang langka di Ibukota, bisa ku temukan dari tetanggaku saat ini.

Tadi malam aku dapat cerita lucu, dari teman kos yang juga teman kantorku, Mbak Levi, yang kos-nya lebih elit dari kamar kos ku tapi berada di satu lingkungan juga. Mbak Levi cerita tentang Sasya, anak tetangga kami yang berusia 10 tahun. Si Sasya ini banyak kutu-nya. Mungkin karena lingkungannya yang kurang bersih atau memang jarang pakai sampo. Oleh Mbak Levi, Sasha dibelikan Peditox-Obat pembasmi kutu sebanyak tiga botol. Pesan Mbak Levi:’’Sya, nanti yang satu kasi emak lu, yang satunya lagi kasi nenek lu. Nah yang satunya lagi lu pake ya, seperti make sampo waktu mandi,’’. Waktu itu, pesan Mbak Levi dianggukin oleh Sasya dan dia terus pulang kerumah kos orangtuanya yang terbuat dari kayu.

Eh, gak tau nya pas sore hari, si Sasya kembali dengan wajah lebih ceria lagi. Bukannya bercerita tentang pembasmian kutu, tapi dengan santainya bercerita dengan Mbak Levi:’’Teteh, obat kutunya aku jual goceng (Lima ribu). Seceng (Seribu) aku belikan kapur ajaib. Masih ada sisa empat ribu dah…aku belikan makanan ya teteh?’. Ya ampun, bahkan anak sekecil Sasya bisa hitung untung rugi dan sudah bisa dagang meski modalnya obat kutu hasil pemberian. Hitungan untungnya didapat, karena kapur ajaib yang dibeli Sasya, digunakan buat pengganti obat kutu katanya. Ah, ada-ada saja. Tetanggaku, dari kecil sampai dewasa berpikir soal mencari sedikit keuntungan buat menyambung hidup.

Meski tempatnya kecil, dipenuhi tetangga yang kerjanya lebih banyak pengangguran atau serabutan, aku tetap senang. 3X4 diantara bilangan kehidupan, jadi tempat berteduh di antara kesepian pada kampung halaman. Justru dari tempat sekecil ini, aku menemukan sisi lain Jakarta yang tidak kutemukan di balik tembok-tembok raksasa. Diantara kepongahan orang-orang di mall mewah atau kantor elit, masih ada yang ramah menanyakan kabar dan menyediakan segelas teh di pagi hari. Aku masih bisa temukan anak-anak bermain kelereng atau rebutan bola kaki plastik. Aku masih bisa lihat tikus dan kucing berkeliaran. Aku masih bisa merasakan kampungku di Ibu kota.***

(The Jakarta City-April '10)

Baca Selengkapnya->

Berkampung di Ibukota...

(Cerita tentang hidup perdanaku di Ibukota)

Dulu waktu ku masih kecil, sepotong bangunan dengan tumpukan obor terbuat dari emas di puncaknya, menghiasi sudut dinding rumah kayuku. Kata Ibu, itu namanya Monas. Letaknya di Ibukota Indonesia, Jakarta. Kata Ibu, kalau ku besar nanti dan banyak uang, aku baru bisa kesana.’’Karena letaknya beda pulau dan kita tak punya uang banyak sekarang Nak,’’. Akhirnya, di buku gambar waktu masih duduk di Taman Kanak-Kanak, aku sering menggambar si Monas. Lalu gambar yang tak punya nilai seni itu, kunamakan: Tempat Mahal. Guru TK ku memberi gambar itu dengan nilai berbentuk senyuman.

Kini, sekitar 24 tahun kemudian. Aku akhirnya sampai ke tempat mahal itu. Tidak lagi menggambarnya di atas kertas, namun menjadi penghias di setiap perjalanan kerjaku. Takdir hidup, membawaku menjadi bagian dari si tempat mahal. Tiap pagi dan tiap sore, motorku yang cicilannya masih puluhan bulan, mengelilingi si obor emas itu. Aku sering termangu, ternyata mimpi itu tidak semahal yang ku kira. Jakarta, kini jadi tempat berpijakku. Di bawah langitnya, segala mimpi tengah kurajut dari sulaman keberanian mengubah nasib. Memang tak ada salahnya bermimpi. Sebelum di negeri yang katanya kaya raya ini membuat pajak untuk sebuah mimpi. Apalagi dari anak kampung seperti ku.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, aku hanya bermodalkan nekat dan niat. Di dompet, lebih banyak penghias daripada lembaran kertas. Aku yakin, kota ini memang sulit ditaklukan. Tapi bagi perantau, segala ranjau jangan dihadang dengan risau. Sebagai anak kampung biasa, tinggal di Ibukota bagiku sama saja. Di kampung ku, ada hutan kayu. Di Jakarta, juga banyak hutan, tapi namanya hutan beton. Kalau di kampung, ada harimau hutan. Kalau di kota, justru ada macam-macam. Ada yang imut bagai marmut. Ada yang galak, bagai macan. Ada yang lucu, seperti kelinciku dulu. Ada buaya, ada musang. Pokoknya macam-macamlah. I like this city, karena banyak preketiew-preketiew…hehehehe.
(Aku sudah merantau sejak tamat SD. Sudah mengenal pahit,manis,asam,tawar dan kecutnya hidup tak bersama keluarga. Jakarta masih belum ada apa-apanya. Karena dulu aku merantau, tak punya modal apa-apa selain doa dan semangat saja)

Yang kucari pertama kali adalah tempat berteduh. Pertamanya, aku dapat tempat kos dekat kantor. Tak begitu jauh. Di tempat ini, aku tinggal sekitar 3 minggu. Selanjutnya, aku pindah ke kos baru. Agak jauh dan masuk ke kampung-kampung. Aku memilih pindah untuk mencari tempat yang sesuai selera hati. Tempat dengan hiruk pikuk kota namun tetap ada nuansa kampung-nya. Sahabat terbaik ku di kota ini, Mbak Levi, yang juga teman kantorku, menyarankan lokasi kos yang sama dengan tempat kos-nya. Kampung di tengah kota. Kota yang ditengahnya ada kampung. That’s my home.

Aku tak hafal alamat lengkapnya. Tapi orang-orang bilang, letaknya di Kemandoran. Aku tak tahu nama kecamatannya apa, yang kutahu, kalau naik taksi tinggal bilang Kemandoran-Palmerah-Jakarta Selatan.

Mencari kos ku, tidak susah tapi tidak juga mudah, khususnya bagi orang baru yang menginjak Jakarta. Kalau dari Bandara Soekarno Hatta, tinggal naik Damri jurusan Blok M. Lalu bilang sama kernet, minta turun di Slipi Palmerah. Dari tempat turun, menyeberang jalan melewati bawah tol. Lalu pilih, kalau naik ojek, bayar Rp 15 ribu dan bilang ke Kemandoran. Kalau naik angkot, ambil jurusan 09 dan turun di simpang Kemandoran. Kalau naik taksi, lebih gampang lagi. Tinggal siapkan saja uang Rp 20 ribu. Dijamin sampai alamat. Ke Kemandoran.

Posisinya, setelah melewati pasar Palmerah, belok kanan, lalu ketemu kantor Group Kompas, lurus terus, ketemu belokan dan persis sebelah kiri, ada pangkalan ojek Kemandoran. Dari sana, aku sarankan lebih baik menelpon aku saja, masalahnya jarang ada yang bisa menemukan alamat kos ku itu. Karena harus masuk perkampungan. Meski letaknya tidaklah begitu jauh dari tempat turun di pangkalan ojek tadi.

Letak kos ku, berada di sebuah gang bernama Pulo Cempaka 2. Disini, semua rumah posisinya rapat-rapat. Warganya lebih banyak pendatang. Sedangkan penghuni asli, lebih banyak menyulap rumahnya jadi kos-kosan atau rumah kontrakan. Tidak ada sejengkal tanahpun yang tersisa. Bahkan, pelataran mesjid setiap kali sholat Jumat, harus mengambil badan jalan untuk tempat sendal jemaah. Soal tak ada tanah ini, aku jadi ingat keluhan Mbak Levi, sahabat kos-ku yang sedang hamil. Mbak Levi pernah mengeluh begini,’’Kira-kira dimana ya besok menguburkan ari-ari anak Mbak ini?,’’ Begitulah kondisi tak ada sejengkal tanah ang semuanya sudah disulap menjadi bangunan.

Begitu masuk ke gang menuju kos ku, harus berjalan pelan-pelan (kalau pakai motor. Karena mobil tak bisa lewat, tak cukup), soalnya jalanan sering dijadikan taman bermain anak-anak kampung. Disini tak ada rumah yang punya halaman. Seringnya, anak-anak ini bermain kelereng ditengah jalan. Kalau ada motor yang lewat, mereka akan teriak-teriak ‘’Hati-hati ya, jangan rusakkan letak kelerengnya’’. Biasanya, kalau motor yang lewat tak sengaja menabrak posisi kelereng, anak-anak hanya bisa menggerutu dan memulai permainan dari awal lagi.

Sekitar 500 meter dari mulut gang, sebelah kiri, adalah pintu masuk ke arah kos-kosan ku. Masih ada gang lagi, kali ini lebih kecil dari yang tadi. Hanya cukup untuk lewat satu motor saja secara bergantian. Letak kos ku di lantai dua. Sebenarnya, lebih tepat di sebut lantai 3. Karena ada dua susunan rumah dibawahnya. Namun susunan yang satu lagi, lebih tepat ku sebut, terletak agak kedalam tanah.

Aku tak ingin membuat strata berdasarkan letak posisi kos-kos an. Tapi untuk lebih jelas menggambarkan, rasanya tetap harus kujelaskan juga mengenai ‘’kelas’’ tak resmi ini.

Pada susunan rumah paling bawah, terdapat enam kamar, tanpa jendela. Hanya pintu kecil biasa. Barisan rumah ini, hanya memiliki satu kamar mandi yang dipakai secara bersama-sama. Ukuran kamarnya sekitar 3X3,5 meter. Bagian depannya, jangankah halaman apalagi jemuran, untuk jalan saja harus satu-satu karena sempitnya. Bahkan cahaya matahari, tidak masuk ke barisan rumah ini, karena bangunannya diapit oleh dinding bangunan lantai 2 dan 3. Karena tidak ada cahaya matahari, alhasil jalanan yang sempit tadi berubah wujud. Jadi jemuran sekalian barisan peralatan dapur. Ada juga yang letakkan peralatan dapurnya di dalam kamar, berhimpitan dengan peralatan tidur. Dibarisan rumah ini, terdapat enam rumah tangga (KK).

Ada sekitar 8 orang anak kecil dibawah usia 10 tahun, tinggal di kos tanpa cahaya matahari ini. Harga sewanya Rp 250 ribu per bulan. Listrik secukupnya. Air bersih ngantri. Kalau siang panas, kalau malam lebih panas lagi. Terkadang penghuni rumah barisan pertama ini, harus memboyong anak-anak mereka, sementara tidur di tangga lantai 2 menuju lantai 3, untuk sekedar mendapatkan udara segar. Kalau si kecil sudah terlelap, baru pelan-pelan dibawa ke 3X3,5 meter tadi. Berbaur dengan suara adukan masakan tetangga atau suara seduhan kopi yang cukup memekakkan telinga. Begitulah kondisi kamar kos lantai 1.

Di lantai kamar inilah, ada seorang Mbak-Mbak, yang aku panggil ‘’Mama Vany’’. Nama anaknya adalah Vany. Makanya ku panggil demikian. Anaknya ada 3. Paling besar umur 9 tahun, terpaksa berhenti sekolah sementara karena diboyong orang tuanya ke Jakarta. Di kampung tidak ada lagi kehidupan, begitu kata Mama Vany, saat ditanya alasannya berani memboyong keluarganya ke Jakarta dari salah satu kota di Jawa Tengah. Bersama suami dan tiga anaknya, Mama Vany jadi tetangga ku yang baik. Mama Vany pula yang membantu membersihkan kamarku, mencuci, menyetrika, menghidangkan secangkir teh panas tiap pagi dan malam saat ku pulang kerja. Ngerokin badan kalau kecapean. Membantu mendorong motor ditempat jalan yang kekecilan dan tiap hari selalu bertanya, apa-apa saja yang kuperlukan. Untuk semua itu, tiap minggu aku memberikan bayaran secukupnya dan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya pada Mama Vany. Di kota sekejam Jakarta, Mama Vany bekerja sebagai buruh cuci. Sementara suaminya, bekerja sebagai pemungut bola golf di Senayan. Dari penghasilan pas-pasan itu, mereka menghidupi tiga anaknya dan menyewa kos tanpa cahaya matahari tadi. Meski begitu, sepertinya mereka bahagia.

Di Lantai 2, ada lima barisan kamar, kiri dan kanan. Tempat ini cukup lumayan. Ukurannya sekitar 3X4 meter. Meski sama saja tidak menerima cahaya matahari secara langsung, paling tidak masih bisa sedikit menghirup udara pagi. Pastinya tidak nyaman, karena tetap saja yang banyak terhirup adalah bau gelantungan pakaian yang dijemur atau bau masakan dari barisan peralatan dapur disepanjang jalan depan kamar. Di barisan kamar sebelah kiri, ada dua kamar mandi dipakai untuk umum. Sedangkan dibarisan kamar sebelah kanan, kamar mandinya sudah ada didalam kamar masing-masing. Ada harga, tentu beda. Untuk sebelah kiri, per bulannya Rp 300 ribu. Sedangkan untuk sebelah kanan Rp 400 ribu per bulan.

Di dua barisan kamar ini, semua tetangganya baik-baik, ramah dan bersahabat. Setiap pagi, selalu terdengar sapaan ramah khas orang-orang kampung. Yup, hampir semuanya adalah orang kampung. Merantau ke Jakarta, dengan membawa serta seluruh isi kampung. Anak, adik, sepupu. Bahkan ada yang sudah ngekos di tempat itu hampir 17 tahun!!! Mulai dari si anak baru pandai jalan, sampai sekarang sudah bisa cari kerjaan. Dan pekerjaan si ibu tetap setia jualan ketoprak. Ketopraknya enak. Waktu pertama kali beli, aku dikasi buanyak dan gratis. Tapi tak mungkin aku tak membayar. Bahkan ku bayar dua kali lipat, karena ketopraknya di kasi dua kali lipat pula. Alhasil, setiap pagi si Mbak ketoprak terus teriak-teriak dari depan kamarnya.’’Mbak, mau sarapan ketoprak lagi gak??,’’. Ah, tetanggaku memang baik dan ramah.

Letak kos ku sendiri di lantai 3. Tapi karena posisi bangunannya yang di desain sedemikian rupa (padahal memanfaatkan semaksimal mungkin tekstur tanah oleh si pemilik bangunan), tiap hari aku hanya menaiki satu lantai saja. Di lantai 3 ini, ada empat kamar. Begitu menaikinya, langsung mendapat udara segar. Meski pemandangan tetap saja ke jejeran rumah-rumah ‘’rapat dan kumuh’’ disekitarnya, namun penghuni lantai atas ini mendapat bonus. Bisa melihat pemandangan secuil kota Jakarta. Bisa melihat pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Bisa melihat langit biru nan indah. Bisa mendapat cahaya segar, pagi, siang dan sore. Bahkan kalau tengah malam, saat suasana benar-benar sepi, bisa terdengar suara pengumuman pemanggilan taksi dari loby hotel Mulia Senayan. Hotel bintang lima yang cahaya kamar mewahnya, bisa terlihat dari pintu depan kamar mewah ku hehehehe…

Di barisan ketiga ini, posisi kamarku berada paling pojok. Tetangga pertamaku, cowok, masih lajang. Orangnya baik sama tetangga dan ramah sama kucing. Setiap kali pulang kerja, pastinya sama-sama malam, banyak kucing mengikutinya dan dia pasti beri makan semua seadanya. Tetangga kedua ku, sepasang suami istri. Mbak-nya ramah sekali. Kalau ada makanan, sering dibagi-bagi. Karena dapurnya didalam kamar, sering tercium bau masakan yang uenak. Dan kalau malam sepulang kerja, selalu dapat tawaran makanan jadi. Seringnya aku tolak, karena setiap pulang, sering sudah kenyang. Sedangkan tetangga ketigaku, lagi-lagi cowok lajang. Tetangga yang ini, jarang bisa berjumpa. Sama-sama sibuknya.

Setiap kamar di lantai tiga ini, ada kamar mandinya didalam. Semuanya berlantai keramik sederhana. Ada jendela. Luasnya sekitar 3X4. Memang kecil, tapi sangat nyaman. Di depan kamar, tidak ada jejeran kompor atau jemuran. Semuanya bersih dan bisa menjemur di samping barisan kamar. Berbeda fasilitas, beda pula harga. Setiap bulan, aku harus mengeluarkan Rp 500 ribu untuk tinggal di barisan teratas kamar kos-kos an ini.

Si 3X4 ini, pertama kalinya berwarna krem. Cukup kotor. Kata tetangga nomor dua ku, kamar ini pernah dihuni sekitar 8 orang cowok-cowok kuli bangunan. Pantas saja, ada tulisan seperti tanggalan lalu dipojoknya terdapat catatan ‘tanggal gajian’. Lalu ada tulisan ‘ai lov yu’ dengan ejaan bahasa Inggris yang salah total. Ada gambar tengkorak kecil-kecil dan jejak kaki besar-besar di dinding. Ufff, namanya juga bekas kamar kuli. Aku pun merogoh kocek Rp 200 ribu untuk mengecat ulang kamar kecil ku ini.

Akhirnya kamar ku berubah warna. Awalnya ingin warna krem. Tapi tukang cat yang tak lain adalah tetanggaku sendiri, entah atas perintah dari siapa, mengecat kamarku dengan warna ungu. Alhasil, saat masih kerja di kantor, teman kos ku ngirim sms yang bunyinya:’’Selamat ya Af, kamarmu sudah indah dengan warna janda’’. Saat ku pulang, ternyata kamar kuli bangunan sudah berubah manis dengan warna ungu terang. Ah, tak mengapa, meski warna janda tetap saja lebih kelihatan bersih dari kondisi semula. Lagipula, kalo tinggal sendirian gini, memang merasa jadi Janda kok xixixixi…

Dalam si 3X4 ku, di pojok kiri ada kasur seharga Rp 100 ribu. Lantai keramik diberi alas karpet murah meriah warna merah. Kasurnya ditemani bantal dan satu guling. Aku tak bisa tidur kalau tak ada guling. Lalu ada lemari lucu dua pintu tiga lantai warna biru. Disebelahnya rak plastik tiga tingkat untuk meletakkan barang-barang aksesoris pekerjaan dan buku, warna pink. Ada kotak musik warna hitam, yang memutar lagu-lagu kesayangan orang yang ku sayang. Di atas lemari, ada tas hitam besarku waktu bawa baju pindah-pindah dulu dan stik biliar yang dibawa khusus. Sayangnya, hobi ku yang ‘’kontroversi’’ itu, justru jarang tersalurkan lagi. Sudah habis waktu hanya untuk kerja saja.

Di kos seperti ini, suasana ramah selalu menyapa. Meski terkadang aku harus mengurut dada melihat kondisi kehidupan penghuninya. Hidup dengan apa adanya. Hidup dengan seadanya. Hidup dengan tiadanya. Tapi inilah pelajaran berharga tentang Jakarta. Meski hidup dengan makan yang didapat dari kerja seharian, keramahan tak hilang dari sebagian orang-orangnya. Keramahan yang jadi barang langka di Ibukota, bisa ku temukan dari tetanggaku saat ini.

Tadi malam aku dapat cerita lucu, dari teman kos yang juga teman kantorku, Mbak Levi, yang kos-nya lebih elit dari kamar kos ku tapi berada di satu lingkungan juga. Mbak Levi cerita tentang Sasya, anak tetangga kami yang berusia 10 tahun. Si Sasya ini banyak kutu-nya. Mungkin karena lingkungannya yang kurang bersih atau memang jarang pakai sampo. Oleh Mbak Levi, Sasha dibelikan Peditox-Obat pembasmi kutu sebanyak tiga botol. Pesan Mbak Levi:’’Sya, nanti yang satu kasi emak lu, yang satunya lagi kasi nenek lu. Nah yang satunya lagi lu pake ya, seperti make sampo waktu mandi,’’. Waktu itu, pesan Mbak Levi dianggukin oleh Sasya dan dia terus pulang kerumah kos orangtuanya yang terbuat dari kayu.

Eh, gak tau nya pas sore hari, si Sasya kembali dengan wajah lebih ceria lagi. Bukannya bercerita tentang pembasmian kutu, tapi dengan santainya bercerita dengan Mbak Levi:’’Teteh, obat kutunya aku jual goceng (Lima ribu). Seceng (Seribu) aku belikan kapur ajaib. Masih ada sisa empat ribu dah…aku belikan makanan ya teteh?’. Ya ampun, bahkan anak sekecil Sasya bisa hitung untung rugi dan sudah bisa dagang meski modalnya obat kutu hasil pemberian. Hitungan untungnya didapat, karena kapur ajaib yang dibeli Sasya, digunakan buat pengganti obat kutu katanya. Ah, ada-ada saja. Tetanggaku, dari kecil sampai dewasa berpikir soal mencari sedikit keuntungan buat menyambung hidup.

Meski tempatnya kecil, dipenuhi tetangga yang kerjanya lebih banyak pengangguran atau serabutan, aku tetap senang. 3X4 diantara bilangan kehidupan, jadi tempat berteduh di antara kesepian pada kampung halaman. Justru dari tempat sekecil ini, aku menemukan sisi lain Jakarta yang tidak kutemukan di balik tembok-tembok raksasa. Diantara kepongahan orang-orang di mall mewah atau kantor elit, masih ada yang ramah menanyakan kabar dan menyediakan segelas teh di pagi hari. Aku masih bisa temukan anak-anak bermain kelereng atau rebutan bola kaki plastik. Aku masih bisa lihat tikus dan kucing berkeliaran. Aku masih bisa merasakan kampungku di Ibu kota.***

(The Jakarta City-April '10)

Baca Selengkapnya->